Selasa, 06 September 2016

Arfi’an Fuadi dan M Arie Kurniawan Kakak Beradik yang mendunia



Arfi’an Fuadi dan M Arie kurniawan. Tidak banyak yang mengenal dua nama tersebut, mungkin karena mereka bukan artis ataupun musisi papan atas. Mereka berdua hanyalah kakak-beradik lulusan SMK. Lalu apa yang meenarik dari kakak-beradik lulusan SMK?
Mereka adalah anak bangsa yang mendunia.
Kakak-beradik dari keluarga A. Sya’roni ini bukanlah penyandang gelar sarjana dari universitas manapun, namun mereka adalah contoh dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat. Arfi'an merupakan lulusan SMKN 7 Semarang tahun 2005 sedangkan Arie adalah lulusan SMKN 2 Salatiga tahun 2009.

Kiprah dua bersaudara itu di dunia rancang teknik internasional tak perlu diragukan lagi. Pada tahun 2013 Arie memenangi kompetisi tiga dimensi (3D) design engineering untuk jet engine bracket (penggantung mesin jet pesawat) yang diselenggarakan General Electric (GE) Amerika Serikat. Arie mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56 negara. Pada kompetisi tersebut Arie harus membuat alat penggantung mesin jet seringan mungkin dengan syarat tetap mempertahankan kekuatan angkutmesin jet tersebut seberat 9.500 pon. Dengan tekad yang kuat Arie berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram lebih menjadi 327 gram saja. Dan yang membanggakan adalah, Arie mengalahkan para pakar design engineering yang tingkat pendidikannya jauh di atas dirinya.

Misalnya, juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang bekerja di Swedish Air Force. Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford University yang kini bekerja di Airbus. Sekilas memang tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang lulusan SMK yang belum pernah mendapatkan materi pendidikan CAD (computer aided design) mampu mengalahkan doktor dan mahasiswa S-3 yang bekerja di perusahaan pembuat pesawat? CAD adalah program komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian dari suatu produk.

Rupanya, ilmu utak-atik desain teknik itu diperoleh dan didalami Arie dan kakaknya, Arfi, secara otodidak. Hampir setiap hari keduanya melakukan berbagai percobaan menggunakan program di komputernya. Mereka juga belajar dari referensi-referensi yang berserak di berbagai situs tentang design engineering. Sebelum menjadi profesional di bidang desain teknik, mereka harus banting tulang bekerja serabutan membantu ekonomi keluarga. Arfi pernah bekerja sebagai tukang cetak foto, di bengkel sepeda motor, sampai jualan susu keliling kampung. Sang adik juga tak jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir dari truk sampai tukang cuci motor. Kemudian pada 2009 Arfi bisa menyalurkan bakat dan minatnya di bidang program komputer. Pada 9 Desember tahun itu dia memberanikan diri mendirikan perusahaan di bidang design engineering. Namanya D-Tech Engineering Salatiga. Saksi bisu pendirian perusahaan tersebut adalah komputer AMD 3000+. Komputer itu dibeli dari uang urunan keluarga dan gaji Arfi saat masih bekerja di PT Pos Indonesia.
Setelah berdiskusi dengan sang adik, Arfi pun menetapkan bidang 3D design engineering sebagai fokus garapan mereka. Sebab, dia yakin bidang itu booming dalam beberapa tahun ke depan. Tak lama kemudian, D-Tech menerima order pertama. Setelah mencari di situs freelance, mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat ukur dari pengusaha Jerman. Si pengusaha bersedia membayar USD 10 per set. Sedangkan Arfi hanya mampu mengerjakan desain tiga set jarum selama dua minggu. Di luar dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si pemesan. Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan harga awal.

Sejak itu order terus mengalir tak pernah sepi. Model desain yang dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku yang dipesan orang Selandia Baru sampai desain pesawat penyebar pupuk yang dipesan perusahaan Amerika Serikat. Selama lima tahun ini, D-Tech telah mengerjakan sedikitnya 150 proyek desain. Tentu saja hasil finansial yang diperoleh pun signifikan. Mereka bisa membangun rumah orang tuanya serta membeli mobil. Tapi, di sisi lain, capaian yang cukup mencolok itu sempat mengundang cibiran dan tanda tanya para tetangga. Mereka dicurigai memelihara tuyul, karena masyarakat yang tinggal disekitar rumah mereka melihat Arie dan Arfi hanya berdiam diri dirumah tanpa tahu apa yang mereka kerjakan.

Jika dihitung, mereka telah menerima ratusan projek namun sayangnya, dari 150 proyek itu, hanya satu yang dipesan klien dalam negeri. Meski punya segudang pengalaman dan diakui berbagai perusahaan internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa berkiprah di desain teknik Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya berijazah SMK. Stigma ”hanya berijazah SMK” ditambah sistem pendidikan Indonesia yang dinilai kurang adil itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 di Teknik Elektro Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Arie tidak bisa masuk jurusan itu karena hanya lulusan SMK mekanik otomotif.

Dengan semua upaya itu, mereka punya satu impian, yakni mengembangkan sumber daya lokal Salatiga untuk menjadikan kota kecil itu pusat pengembangan manufaktur teknologi kelas dunia. Layaknya Silicon Valley di San Francisco, Amerika Serikat.

Sumber : dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me