Arfi’an
Fuadi dan M Arie kurniawan. Tidak banyak yang mengenal dua nama tersebut,
mungkin karena mereka bukan artis ataupun musisi papan atas. Mereka berdua
hanyalah kakak-beradik lulusan SMK. Lalu apa yang meenarik dari kakak-beradik
lulusan SMK?
Mereka
adalah anak bangsa yang mendunia.
Kakak-beradik
dari keluarga A. Sya’roni ini bukanlah penyandang gelar sarjana dari
universitas manapun, namun mereka adalah contoh dari lulusan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) yang berbakat. Arfi'an merupakan lulusan SMKN 7 Semarang tahun
2005 sedangkan Arie adalah lulusan SMKN 2 Salatiga tahun 2009.
Kiprah dua
bersaudara itu di dunia rancang teknik internasional tak perlu diragukan lagi.
Pada tahun 2013 Arie memenangi kompetisi tiga dimensi (3D) design engineering
untuk jet engine bracket (penggantung mesin jet pesawat) yang diselenggarakan
General Electric (GE) Amerika Serikat. Arie mengalahkan sekitar 700 peserta
dari 56 negara. Pada kompetisi tersebut Arie harus membuat alat penggantung
mesin jet seringan mungkin dengan syarat tetap mempertahankan kekuatan
angkutmesin jet tersebut seberat 9.500 pon. Dengan tekad yang kuat Arie
berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram lebih menjadi 327 gram saja. Dan yang
membanggakan adalah, Arie mengalahkan para pakar design engineering yang
tingkat pendidikannya jauh di atas dirinya.
Misalnya, juara
kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang bekerja di Swedish Air Force.
Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford University yang kini bekerja di
Airbus. Sekilas memang tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang lulusan SMK yang
belum pernah mendapatkan materi pendidikan CAD (computer aided design) mampu
mengalahkan doktor dan mahasiswa S-3 yang bekerja di perusahaan pembuat
pesawat? CAD adalah program komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian
dari suatu produk.
Rupanya, ilmu
utak-atik desain teknik itu diperoleh dan didalami Arie dan kakaknya, Arfi,
secara otodidak. Hampir setiap hari keduanya melakukan berbagai percobaan
menggunakan program di komputernya. Mereka juga belajar dari
referensi-referensi yang berserak di berbagai situs tentang design engineering.
Sebelum menjadi profesional di bidang desain teknik, mereka harus banting
tulang bekerja serabutan membantu ekonomi keluarga. Arfi pernah bekerja sebagai
tukang cetak foto, di bengkel sepeda motor, sampai jualan susu keliling
kampung. Sang adik juga tak jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir dari
truk sampai tukang cuci motor. Kemudian pada 2009 Arfi bisa menyalurkan bakat
dan minatnya di bidang program komputer. Pada 9 Desember tahun itu dia
memberanikan diri mendirikan perusahaan di bidang design engineering. Namanya
D-Tech Engineering Salatiga. Saksi bisu pendirian perusahaan tersebut adalah
komputer AMD 3000+. Komputer itu dibeli dari uang urunan keluarga dan gaji Arfi
saat masih bekerja di PT Pos Indonesia.
Setelah berdiskusi
dengan sang adik, Arfi pun menetapkan bidang 3D design engineering sebagai
fokus garapan mereka. Sebab, dia yakin bidang itu booming dalam beberapa tahun
ke depan. Tak lama kemudian, D-Tech menerima order pertama. Setelah mencari di
situs freelance, mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat ukur dari
pengusaha Jerman. Si pengusaha bersedia membayar USD 10 per set. Sedangkan Arfi
hanya mampu mengerjakan desain tiga set jarum selama dua minggu. Di luar
dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si pemesan. Sampai-sampai si
pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan harga awal.
Sejak itu order
terus mengalir tak pernah sepi. Model desain yang dipesan pun makin beragam.
Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku yang dipesan orang Selandia Baru
sampai desain pesawat penyebar pupuk yang dipesan perusahaan Amerika Serikat. Selama
lima tahun ini, D-Tech telah mengerjakan sedikitnya 150 proyek desain. Tentu
saja hasil finansial yang diperoleh pun signifikan. Mereka bisa membangun rumah
orang tuanya serta membeli mobil. Tapi, di sisi lain, capaian yang cukup
mencolok itu sempat mengundang cibiran dan tanda tanya para tetangga. Mereka
dicurigai memelihara tuyul, karena masyarakat yang tinggal disekitar rumah
mereka melihat Arie dan Arfi hanya berdiam diri dirumah tanpa tahu apa yang
mereka kerjakan.
Jika dihitung,
mereka telah menerima ratusan projek namun sayangnya, dari 150 proyek itu,
hanya satu yang dipesan klien dalam negeri. Meski punya segudang pengalaman dan
diakui berbagai perusahaan internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa
berkiprah di desain teknik Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya berijazah SMK. Stigma ”hanya
berijazah SMK” ditambah sistem pendidikan Indonesia yang dinilai kurang adil
itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie melanjutkan pendidikan ke jenjang
S-1 di Teknik Elektro Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Arie tidak bisa
masuk jurusan itu karena hanya lulusan SMK mekanik otomotif.
Dengan semua upaya
itu, mereka punya satu impian, yakni mengembangkan sumber daya lokal Salatiga
untuk menjadikan kota kecil itu pusat pengembangan manufaktur teknologi kelas
dunia. Layaknya Silicon Valley di San Francisco, Amerika Serikat.
Sumber : dari berbagai sumber
Sumber : dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar